Langsung ke konten utama

02. Kekayaan atau Cobaan?

Ada yang pernah mendengar salah satu ayat dari Quran ini?

“Tuhan tidak akan mengirim cobaan kepada hamba-Nya kecuali hamba-Nya mampu untuk melewatinya.”

Saya tidak tahu ayat itu berasal dari surat apa, bahkan terjemahan di atas bukanlah terjemahan resmi, hanya mengandalkan ingatan saya, tapi kurang lebih mempunyai pesan seperti itu.

Ya, cobaan yang kita alami sekarang, kejadian buruk yang sedang kita hadapi, ternyata itu semua bukan berarti Tuhan jahat, melainkan karena Dia tahu kita mampu untuk melewatinya. Ayat yang mempunyai makna yang dalam, menyiratkan kita bahwa semua masalah ini akan kelar pada akhirnya. Sekilas memang, ayat ini ditujukan bagi mereka yang sedang dirundung kesusahan. Namun, saya punya pendapat sendiri mengenai hal ini.

Menurut saya, ayat ini juga berlaku sebaliknya. Ayat ini juga berlaku bagi suatu hal atau kondisi yang berlawanan dari cobaan, contohnya kekayaan. Jadi terjemahan versi kebalikannya adalah berikut:

“Tuhan tidak akan mengirim kekayaan kepada hamba-Nya kecuali hamba-Nya mampu untuk melewatinya.”

Begini, berapa banyak dari kita yang selalu merasa, “kok hidup cuma gini-gini aja ya?”, “kenapa ya gue ga kaya-kaya?”, “andai saja aku punya uang banyak”, dan ungkapan-ungkapan lainnya yang bernada sama? Mungkin semuanya pernah merasa seperti itu. Berdasarkan ayat di atas, mungkin saja, Tuhan belum mengirimkan kekayaan (atau apapun itu) kepada kita karena kita memang belum mampu untuk menerimanya. Kita dirasa belum sanggup untuk melewati itu semua. ‘Melewati’ dalam artian tidak hanya menerima, namun juga mengelola agar tidak boros, dan memanfaatkannya hingga berguna semaksimal mungkin.

Mungkin saja, kekayaan yang kita tunggu-tunggu itu belum datang juga, karena Tuhan tahu kita belum siap untuk semua itu. Mungkin saja, struggle yang kita hadapi bersama ini sebagai ujian dan latihan kita, untuk mencapai level yang lebih tinggi lagi. Mungkin saja, Tuhan tahu kalau kita dikasih kekayaan itu sekarang juga, kita tidak bisa mengelolanya dan menjadi boros. Mungkin saja, kehidupan kita yang sekarang, untuk membentuk diri kita, agar ketika mendapat kekayaan yang kita harapkan, kita tidak kaget dan menghargai setiap rupiah yang ada agar kita hemat.

Mungkin saja.

.

.

.

.

.

Tuhan, aku ingin kaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

05. Berita Negatif

Kalau misalnya ada orang yang bilang, "jangan ngomongin covid lagi, dong," atau "kenapa yang mati terus yang diberitakan? Yang sembuh kan banyak juga," maka gue paham apa yang mereka rasakan dan ga akan nge- judge mereka. Kenapa? Karena gue juga pernah mengalaminya. Ga soal covid, sih, tapi soal yang lain. Pengalaman gue ini yang kemudian membuat gue berkesimpulan, bahwa berita negatif yang terus menerus dikonsumsi akan berdampak ke mental seseorang. Jadi, gue termasuk orang yang ga takut naik pesawat. Bahkan saat pertama kali gue terbang pun, gue menganggap itu sebagai wahana. Ketika turbulensi, goncangan saat landing , itu semua gue nikmati tanpa takut. Tapi keberanian gue mulai sirna saat pesawat Sriwijaya Air jatuh di awal tahun ini.  Berita soal jatuhnya pesawat muncul di mana-mana, internet atau tv. Menjadi berita nasional. Sebenarnya ga salah sih, namanya juga musibah, dan jarang terjadi. Tapi kecelakaan ini jadi trending topic berhari-hari, bahkan di med...

03. Orang Jepang itu Cringe

Ketika saya menjelajahi Twitter kemarin, ada satu pertanyaan unik yang muncul dari salah seorang netizen. Pertanyaannya begini, “kenapa, ya, akting aktor atau aktris Jepang di film Jepang itu lebay banget?” Sejenak setelah membacanya, saya jadi kepikiran, “benar juga, ya.” Para penggemar film atau dorama dari Jepang tentu sudah tidak asing dengan gaya akting yang dimiliki aktor dan aktris Jepang. Ekspresi yang lebay dan terkadang cringe memang menjadi ciri khasnya. Apalagi jika film tersebut merupakan adaptasi dari komik atau anime. Bagi yang menonton pertama kali, pasti dibuat kebingungan dan merasa akting mereka jelek. Tapi, kenapa, ya, mereka bisa begitu? Kalau untuk jawaban praktis, bisa saja kita menjawab, “memang dari sananya begitu” tapi itu tentu tidak memuaskan. Namun, bukan berarti itu jawaban yang salah, karena memang dari sananya ya begitu HAHAHA. Oke, serius. Menurut saya, ini berkaitan dengan kebijakan sakoku yang dipakai di Zaman Edo. Loh, kok bisa? Jadi gini ceritanya....

04. Lawakan

Menurut saya, lawakan itu akan terasa lucu apabila diungkapkan di zaman yang tepat. Jika lawakan tersebut disampaikan di zaman yang berbeda, pasti akan terasa aneh dan garing. Hipotesis ini saya dapat setelah menonton kembali lawakan yang sama yang sempat membuat saya tertawa lepas. Mungkin kalian juga pernah mengalami ini. Saat itu, saya sedang menonton video stand up comedy di Youtube. Lawakan nya lucu. Tapi setelah 3 tahun kemudian, entah kenapa menjadi tidak lucu. Ada lagi satu lawakan saat saya SMP, bahkan berkat lawakan itu, saya menjadi populer (badutnya), malah terasa cringe dan gak banget di zaman sekarang. Berkat dua hal tadi saya pun berasumsi, bahwa memang lawakan harus disesuaikan dengan zamannya.  Berarti, suatu lawakan itu termasuk 'barang' yang cepat basi dong? Sebenarnya tidak juga. Contohnya Mr. Bean dan Warkop DKI, yang—saya yakin mayoritas dari kalian juga setuju— entah kenapa masih terasa lucu setelah berpuluh puluh tahun sejak diudarakan pertama kali. Mu...