Cengkareng, pukul 22.30 WIB. Tiga hari sebelum tahun baru. Rasa lapar menerjang sesaat setelah ia menyelesaikan gim di gawainya tersebut. Pesan dari orang tuanya ketika baru tiba di bandara langsung teringat olehnya. Batagor yang ia beli di stasiun tadi masih belum cukup untuk mengganjal perutnya yang belum makan dari tadi siang. Ia lupa -atau pura-pura lupa- bahwa harga makanan di bandara bisa berkali-kali lipat harganya dibandingkan di tempat lain. Deretan manusia yang duduk di bangku ruang tunggu bandara, sesekali ada yang tidur, adalah pemandangan yang ia lihat saat mencari tempat makan. Tidak perlu jauh memandang, tepat di belakang bangku tempat ia duduk, warung sepi yang menonjolkan menu makanan Indonesia terlihat jelas saat ia memutarkan kepalanya. Butuh sedikit waktu untuk meyakinkan ia untuk makan di situ. Terakhir kali ia makan di bandara adalah di restoran cepat saji, bukan di warung bergaya prasmanan. Ia ragu mengenai harganya, walaupun sebenarnya itu adalah hal yang si
Aku menemaninya menyusuri ladang itu dengan berjalan kaki. Dia yang seolah belum pernah melihat tanah hijau makin bersemangat saat sudah menginjak rumput. Beberapa orang ada di ladang termasuk salah seorang nenek tua yang jadi target penasarannya. "Nek, ini tanaman apa?" "Oh, ini almaty dan glycerol." "Hmm, tulisannya kayak gini, ya?" katanya sambil menyodorkan buku tulis yang ditulis rapi dengan tinta hitam. "Eh, anu, hehe, nenek ga bisa baca. Tau namanya karena dari sananya dibilang gitu, jadi ga tau gimana cara nulisnya." Sejenak dia terdiam. Ada banyak jenis tanaman di ladang, yang mungkin saja belum didata sama seperti dua tanaman yang disebut nenek tersebut. Tanaman langka, yang belum pernah didata dan diketahui, hanya diwariskan oleh mulut ke mulut dari generasi ke generasi. Sayang, tidak tercatat karena kurangnya teknologi pencatatan dan buta huruf.