Langsung ke konten utama

03. Orang Jepang itu Cringe

Ketika saya menjelajahi Twitter kemarin, ada satu pertanyaan unik yang muncul dari salah seorang netizen. Pertanyaannya begini, “kenapa, ya, akting aktor atau aktris Jepang di film Jepang itu lebay banget?” Sejenak setelah membacanya, saya jadi kepikiran, “benar juga, ya.” Para penggemar film atau dorama dari Jepang tentu sudah tidak asing dengan gaya akting yang dimiliki aktor dan aktris Jepang. Ekspresi yang lebay dan terkadang cringe memang menjadi ciri khasnya. Apalagi jika film tersebut merupakan adaptasi dari komik atau anime. Bagi yang menonton pertama kali, pasti dibuat kebingungan dan merasa akting mereka jelek. Tapi, kenapa, ya, mereka bisa begitu?

Kalau untuk jawaban praktis, bisa saja kita menjawab, “memang dari sananya begitu” tapi itu tentu tidak memuaskan. Namun, bukan berarti itu jawaban yang salah, karena memang dari sananya ya begitu HAHAHA. Oke, serius. Menurut saya, ini berkaitan dengan kebijakan sakoku yang dipakai di Zaman Edo. Loh, kok bisa? Jadi gini ceritanya.

Dahulu kala ketika Majapahit masih menguasai Nusantara, Jepang menerapkan kebijakan sakoku atau negara tertutup. Mereka menutup pintu masuk Jepang dari negara asing agar tidak terpengaruh budaya luar. Agak hipokrit memang, mengingat huruf kanji dan beberapa budaya lainnya mereka ambil dari Tiongkok alias budaya luar juga. Nah, selama berabad-abad, mereka membangun kebudayaan mereka sendiri, dengan gaya mereka sendiri, bahkan hingga membentuk karakter mereka sendiri. Kebijakan sakoku kemudian dihapuskan saat Komodor Perry datang ke Jepang untuk membuka hubungan perdagangan dengan Amerika lalu Tom Cruise menjadi samurai terakhir (wait WHAT). Kesimpulannya, menurut cocoklogi saya, karena karakter mereka yang tidak terpengaruh asing dalam waktu yang lama, menghasilkan watak yang unik, gaya baru, menjadikan karakter mereka terkesan lebay dan cringe. Baiklah, memang agak sedikit maksa, tapi saya harap kamu paham apa yang saya maksud.

Sebenarnya, karakter unik (atau mungkin aneh) dan lebay ini tidak hanya dijumpai di fim dan dorama saja. Gameshow dan acara komedi di Jepang juga terkesan aneh dan cringe, yang dibandingkan tertawa, saya lebih sering terheran. “Kok bisa, ya, mereka kayak gitu?”, begitu pikir saya. Salah satu contohnya adalah memukul kepala menggunakan stereofoam. Saya kira kalian pasti pernah melihat adegan yang seperti ini di Indonesia. Lawakan ini menjadi andalan bagi OVJ saat masih booming-nya. Kemudian, perlahan-lahan lawakan ini mulai hilang, seiring dengan kecaman dari beberapa orang yang menganggap ini tidak sopan dan tidak lucu. Anehnya, lawakan ini justru malah laris di Jepang, bagi kalangan tua maupun kalangan muda. Memukul kepala dengan stereofoam, melempar tepung ke muka, menyiram bintang tamu, dan hal-hal lain yang dianggap tidak sopan, tidak lucu, dan tidak cerdas di Indonesia menjadi sebaliknya di Jepang.

Ada lagi yang membuat saya merasa aneh, yaitu salah satu acara prank dengan jebakan konyolnya. Mereka membuat bintang tamu masuk ke dalam lift palsu, yang secara tiba-tiba lantainya terbuka dan membuat mereka jatuh ke bawah, ke arah perosotan yang dialiri air. Selain itu hal yang aneh dan tidak lucu (setidaknya menurut saya), hal itu tentu membahayakan bintang tamu dengan risiko cidera patah kaki. Bayangkan saja, kamu jatuh dari ketinggian secara mendadak tanpa kuda-kuda. Sepertinya fix, karakter unik, nyeleneh, dan cringenya orang Jepang memang sudah dari sananya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

04. Lawakan

Menurut saya, lawakan itu akan terasa lucu apabila diungkapkan di zaman yang tepat. Jika lawakan tersebut disampaikan di zaman yang berbeda, pasti akan terasa aneh dan garing. Hipotesis ini saya dapat setelah menonton kembali lawakan yang sama yang sempat membuat saya tertawa lepas. Mungkin kalian juga pernah mengalami ini. Saat itu, saya sedang menonton video stand up comedy di Youtube. Lawakan nya lucu. Tapi setelah 3 tahun kemudian, entah kenapa menjadi tidak lucu. Ada lagi satu lawakan saat saya SMP, bahkan berkat lawakan itu, saya menjadi populer (badutnya), malah terasa cringe dan gak banget di zaman sekarang. Berkat dua hal tadi saya pun berasumsi, bahwa memang lawakan harus disesuaikan dengan zamannya.  Berarti, suatu lawakan itu termasuk 'barang' yang cepat basi dong? Sebenarnya tidak juga. Contohnya Mr. Bean dan Warkop DKI, yang—saya yakin mayoritas dari kalian juga setuju— entah kenapa masih terasa lucu setelah berpuluh puluh tahun sejak diudarakan pertama kali. Mu...

06. Deva dan Asih

Pekarangan Deva terlihat luas kalau dari sini. Asih memandang dengan takjub. Pekarangan itu ditanami beberapa buah dan sayur yang kalau dihitung cukup untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga Deva. Sang pria mulai menyirami tanaman itu, sedangkan sang wanita memandang dengan kagum sambil melihat sekeliling. Mata Asih lalu berhenti ke anjing tetangga yang lewat. Tanpa melepaskan pandangan, Asih pun berjalan menujunya. "Jangan sentuh!" "Lho, kenapa? Kok ga boleh?" "Nanti digigit anjing." "Ish, anjing itu ga menggigit, tau," Asih membela diri. Deva hanya tersenyum dan lanjut melakukan pekerjaannya. "Aww, sakit." "Kan," singkat, padat, dan jelas respons yang diberikan Deva. Tanpa panik, dia langsung mendekat dan membantu Asih berdiri dengan stabil. Dia menuntun Asih ke sepeda motornya dan membawanya ke puskesmas. Luka gigitan anjing memang harus segera diobati agar terhindar dari rabies. Jangan tanya anjingnya ke mana, karena seme...