Langsung ke konten utama

05. Berita Negatif

Kalau misalnya ada orang yang bilang, "jangan ngomongin covid lagi, dong," atau "kenapa yang mati terus yang diberitakan? Yang sembuh kan banyak juga," maka gue paham apa yang mereka rasakan dan ga akan nge-judge mereka. Kenapa? Karena gue juga pernah mengalaminya. Ga soal covid, sih, tapi soal yang lain. Pengalaman gue ini yang kemudian membuat gue berkesimpulan, bahwa berita negatif yang terus menerus dikonsumsi akan berdampak ke mental seseorang.


Jadi, gue termasuk orang yang ga takut naik pesawat. Bahkan saat pertama kali gue terbang pun, gue menganggap itu sebagai wahana. Ketika turbulensi, goncangan saat landing, itu semua gue nikmati tanpa takut. Tapi keberanian gue mulai sirna saat pesawat Sriwijaya Air jatuh di awal tahun ini. 

Berita soal jatuhnya pesawat muncul di mana-mana, internet atau tv. Menjadi berita nasional. Sebenarnya ga salah sih, namanya juga musibah, dan jarang terjadi. Tapi kecelakaan ini jadi trending topic berhari-hari, bahkan di media sosial. Foto pesawat dan korban dijadikan konten. Chat terakhir dengan korban, foto korban sebelum kecelakaan, status terakhir mereka, obrolan di podcast. Dari TikTok hingga Twitter.

Gue yang dari awal ga punya ketakutan untuk terbang, senang, dan hobi, menjadi kena mental. Gue menjadi takut untuk terbang. Dicekokin bejibun informasi negatif begitu, membuat gue kepikiran terus. Suasana turbulensi, suara di kabin pesawat, guncangan hebat. Padahal, gue punya jadwal untuk terbang di akhir Januari.

Hasilnya bisa ditebak sendiri. Selama penerbangan gue ga henti-henti nya mengucap asma Allah. Berzikir. Ketika ketakutan gue udah ga bisa dibendung lagi, gue paksakan untuk tidur. Dalam pikiran gue saat itu, kalaupun misalnya ajal gue di sini, setidaknya ga bakal kerasa soalnya gue tidur.

Perjalanan gue saat itu berakhir dengan aman dan lancar. Sesuai statistik, perjalanan paling aman adalah perjalanan udara. Mungkin memang ketakutan yang gue alami hanyalah sugesti dan dampak dari informasi negatif yang diterima terus-menerus. Sisi positifnya, gue jadi lebih alim ketika di udara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

03. Orang Jepang itu Cringe

Ketika saya menjelajahi Twitter kemarin, ada satu pertanyaan unik yang muncul dari salah seorang netizen. Pertanyaannya begini, “kenapa, ya, akting aktor atau aktris Jepang di film Jepang itu lebay banget?” Sejenak setelah membacanya, saya jadi kepikiran, “benar juga, ya.” Para penggemar film atau dorama dari Jepang tentu sudah tidak asing dengan gaya akting yang dimiliki aktor dan aktris Jepang. Ekspresi yang lebay dan terkadang cringe memang menjadi ciri khasnya. Apalagi jika film tersebut merupakan adaptasi dari komik atau anime. Bagi yang menonton pertama kali, pasti dibuat kebingungan dan merasa akting mereka jelek. Tapi, kenapa, ya, mereka bisa begitu? Kalau untuk jawaban praktis, bisa saja kita menjawab, “memang dari sananya begitu” tapi itu tentu tidak memuaskan. Namun, bukan berarti itu jawaban yang salah, karena memang dari sananya ya begitu HAHAHA. Oke, serius. Menurut saya, ini berkaitan dengan kebijakan sakoku yang dipakai di Zaman Edo. Loh, kok bisa? Jadi gini ceritanya....

04. Lawakan

Menurut saya, lawakan itu akan terasa lucu apabila diungkapkan di zaman yang tepat. Jika lawakan tersebut disampaikan di zaman yang berbeda, pasti akan terasa aneh dan garing. Hipotesis ini saya dapat setelah menonton kembali lawakan yang sama yang sempat membuat saya tertawa lepas. Mungkin kalian juga pernah mengalami ini. Saat itu, saya sedang menonton video stand up comedy di Youtube. Lawakan nya lucu. Tapi setelah 3 tahun kemudian, entah kenapa menjadi tidak lucu. Ada lagi satu lawakan saat saya SMP, bahkan berkat lawakan itu, saya menjadi populer (badutnya), malah terasa cringe dan gak banget di zaman sekarang. Berkat dua hal tadi saya pun berasumsi, bahwa memang lawakan harus disesuaikan dengan zamannya.  Berarti, suatu lawakan itu termasuk 'barang' yang cepat basi dong? Sebenarnya tidak juga. Contohnya Mr. Bean dan Warkop DKI, yang—saya yakin mayoritas dari kalian juga setuju— entah kenapa masih terasa lucu setelah berpuluh puluh tahun sejak diudarakan pertama kali. Mu...