Cengkareng, pukul 22.30 WIB.
Tiga hari sebelum tahun baru.
Rasa lapar menerjang sesaat setelah ia menyelesaikan gim di gawainya tersebut. Pesan dari orang tuanya ketika baru tiba di bandara langsung teringat olehnya. Batagor yang ia beli di stasiun tadi masih belum cukup untuk mengganjal perutnya yang belum makan dari tadi siang.
Ia lupa -atau pura-pura lupa- bahwa harga makanan di bandara bisa berkali-kali lipat harganya dibandingkan di tempat lain. Deretan manusia yang duduk di bangku ruang tunggu bandara, sesekali ada yang tidur, adalah pemandangan yang ia lihat saat mencari tempat makan.
Tidak perlu jauh memandang, tepat di belakang bangku tempat ia duduk, warung sepi yang menonjolkan menu makanan Indonesia terlihat jelas saat ia memutarkan kepalanya. Butuh sedikit waktu untuk meyakinkan ia untuk makan di situ. Terakhir kali ia makan di bandara adalah di restoran cepat saji, bukan di warung bergaya prasmanan. Ia ragu mengenai harganya, walaupun sebenarnya itu adalah hal yang sia-sia.
Namun perut mengalahkan akal, koper dan tasnya sudah ditaruh di samping meja. Sempat terbersit di pikirannya untuk tidak jadi makan, tapi terasa aneh ketika tangannya sudah memilih lauk yang ia inginkan. Dan, satu piring nasi lengkap dengan lauk sudah tersedia di meja.
Rp 44.000
Nasi, potongan telur dadar, mie goreng Jawa, dan seporsi sayur capcay.
Komentar
Posting Komentar